23 November 2013

Hick (2011)


Chloe Grace Moretz, ya, nama itu membuat saya tertarik menonton film ini. Selain parasnya yang aduhai, akting aktris belia ini sungguh ciamik. Genrenya yang coming of age menambah nafsu untuk segera menyaksikan film besutan Derick Martini ini. Dengan melihat cast lainnya seperti Blake Lively, Anson Mount, dan Alec Baldwin, Hick pastinya menyuguhkan sesuatu yang menyenangkan dan adorable.

Luli McMullen (Chloe Grace Moretz) adalah ABG 13 tahun yang broken home. Ayahnya, Nick (Anson Mount), adalah seorang pemabuk sementara ibunya, Tammy (Juliette Lewis) is a bitch. Pada ultahnya ke 13, Luli mendapat hadiah sepucuk pistol Smith & Wesson kaliber 45. Esoknya, Luli mendapati ibunya jalan bareng dengan seorang agen real estat. Sendiri dan bosan dengan kehidupannya, Luli memutuskan kabur dari rumah.

Tujuannya adalah Las Vegas, sebuah kota menjanjikan yang dilihatnya di televisi. Sambil membawa pistol nya, Luli berjalan hingga ia mendapat tumpangan dari Eddi Kreezer (Eddie Redmayne). Diturunkan di tengah jalan karena menghina Eddie, Luli bertemu Grifter Glenda (Blake Lively) yang memberinya tumpangan. Glenda pula lah yang menampun Luli di rumahnya.

Next Linda Hamilton?
Tak dinyana, pertemuan Luli dengan Eddie dan Glenda menciptakan sebuah situasi rumit. Persoalan-persoalan diantara mereka menyeret Luli ke dalam sebuah konflik yang tidak beraturan. Sebuah konflik yang seharusnya tidak  dijumpai seorang gadis berumur 13 tahun. Hanya kepada coretan-coretan pensil lah Luli dapat berkeluh kesah.

Ekspektasi besar saya terhadap Hick rupanya seperti angin yang bablas entah ke mana. Ekspektasi buta saya terhadap Hick benar-benar mentah, bahkan sebelum sampai di pertengahan film. Ekspektasi saya benar-benar hancur. Hick tidak seperti yang saya pikirkan. Martini sepertinya bingung hendak dibawa ke mana Hick ini. Nampilin brutality, tidak juga. Nampilin romance, saya pikir tidak. Nampilin live of life, kayaknya nggak nyampe. Jadi Hick ini serba tanggung. Siapa juga yang terpuaskan kalau disodori sesuatu yang serba nanggung. Seperti orgasme yang nggak jadi. Isinya cuma kesal.

Kesalahan mutlak saya bebankan ke Martini. Bukan pada Andrea Portes selaku writer. Hick memang diadaptasi dari Novel Portes dengan judul sama. Portes sudah menulis apa adanya, namun Martini sepertinya tidak mengaplikasikannya secara maksimal. Martini hanya memberikan fisiknya saja, namun roh nya hilang entah ke mana. Martini selalu memotong setiap scene sebelum scene nya mencapai klimaks.

Freak
Lihat saja Martini yang tidak menampilkan bagaimana situasi Las Vegas. Meski setting Hick mengambil awal tahun 1980 an, namun saya yakin Las Vegas sudah meriah. Namun saya tak melihat itu. Dialog-dialog di dalam Hick juga kurang mengena dan kadang tidak nyambung. Bukannya membuat tertawa, lawakan dan sindiran di dalam Hick terus saja membuat saya berdehem. Ehemmm....

Dan kesalahan juga tidak saya bebankan ke para aktor dan aktris di dalamnya. Mereka sudah menjalankan tugas dengan sempurna sesuai arahan Martini. Moretz dan Lively sudah tampil meyakinkan. Alec Baldwin yang one of my fave juga seperti biasanya, flamboyan. Udah lama tak melihat akting aktor tegap ini. Eddie Redmayne juga tampil baik, tapi dia kayaknya sedikit berlebihan, iya nggak?

Hick, coming of age yang buruk. Jangan sandingkan Hick dengan Mud ataupun The Perks of Being a Wallflower. Sesuatu yang menyedihkan yang seharusnya bisa dibuat dengan lebih baik. Whatever, Chloe Grace Moretz still charming. Saya lihat dia lama-lama bakal jadi the next Linda Hamilton pas dewasa nanti. Ya, hanya Moretz yang menghibur plus coret-coretan pensilnya sebagai curhatan hatinya. Hanya Derick Martini yang benar-benar Hick (ndeso/udik).

No comments:

Post a Comment