23 April 2014

Captain America: The Winter Soldier (2014)

In heroes we trust

Setelah New York. Ya, dua tahun setelah New York adalah setting sekuel ini. Hidup di tahun 40 an, membeku, lalu melompat ke masa depan membuat Steve Rogers (Chris Evans) harus menyesuaikan diri dengan kehidupan modern. Tak ada yang berubah dari diri si Captain, tetap muda, enerjik, lurus, dan yang pasti tetap bertahan dengan pendapatnya di atas aturan dan kebenaran yang ada.

Itu pula yang membuat Steve mendebat Nick Fury (Samuel L Jackson) seusai menyelamatkan kapal S.H.I.E.LD, Lemurian Star, yang dibajak Georges Batrpc (Georges St-Pierre). Steve tak suka dengan cara Fury menyembunyikan segala sesuatunya, termasuk misi terselubung yang diberikannya kepada Natasha Romanoff aka Black Widow (Scarlett Johansson) yang juga ikut misi penyelamatan.

Entah kenapa, Fury tiba-tiba jadi sasaran pembunuhan oleh pembunuh bayaran yang kondang dengan sebutan The Winter Soldier. Usaha pembunuhan itu akhirnya menjadi sebuah konspirasi tingkat tinggi yang melibatkan senator Alexander Pierce (Robert Redford) dan organisasi S.H.I.E.L.D sendiri yang berujung pada proyek Insight, sebuah senjata massal yang diciptakan S.H.I.E.L.D.

Saya benar-benar merasa menyesal telah menghujat prekuel film ini, Captain America : The First Avenger. Padahal saya memuji habis-habisan The Bourne Legacy diantara kritik-kritik yang ada. Lho, apa hubungannya. Begini, saya menganggap Bourne Legacy adalah pintu masuk menuju era bourne yang baru, yang tak identik lagi dengan karakter Matt Damon. Untuk menuju pintu masuk tersebut sangatlah susah. Cerita yang bagus saja belum menjamin 'film pintu masuk' itu bakalan bisa diterima. Jadinya saya menerima saja jika The Bourne Legacy hasilnya seperti itu karena yakin film selanjutnya bakalan keren.

The Winter Soldier
Namun antisipasi itu tak saya punyai sama sekali saat memelototi Captain America : The First Avenger. Saya menganggap prekuel ini sangatlah membosankan dan kurang menarik. Tak ada sesuatu yang dipelintir dan dikait-kaitkan karena ini memang awal. Dan begitulah adanya. Saya tak tahu jika hal yang membosankan itu merupakan pintu masuk untuk sesuatu yang jauh lebih besar lagi, Captain America : The Winter Soldier.

Joe Johnston telah memuluskan pintu itu, dan adalah tugas Anthony dan Joe Russo yang meneruskannya. Penunjukan dua bersaudara tersebut juga awalnya dianggap skeptis karena mereka bukanlah siapa-siapa. Mereka hanya sutradara kecil yang justru berkutat di genre sitkom. Namun berkat naskah dari Christopher Markus dan Stephen McFeely, eksekusi mereka menjadi sempurna. Marcus dan McFeely enak saja mengalirkan cerita karena naskah merekalah pembuka pintu itu. Ya, prekuel Captain America juga ditulis oleh mereka.

Dari narasi yang cukup sederhana di film pertama, naskah di film kedua ini melonjak tinggi melebihi ekspektasi. Semua saling terkait dan tak ada yang terbuang di sini. The Winter Soldier (Sebastian Stan) adalah salah satu yang tak tersia-sia di sini, termasuk dr. Arnim Zola (Toby Jones). Semoga saja pimpinan STRIKE, Brock Rumlow (Frank Grillo), tak disia-siakan untuk film selanjutnya. Sekuel ini sudah pasti saling terkait dengan prekuelnya. Dan tak hanya itu, sekuel ini lebih kurang juga terkait dengan semua film Marvel yang ada.

Yup, selangkah lagi Marvel Cinematic Universe (MCU) phase two akan memasuki endingnya. Guardian of The Galaxy adalah film terakhir sebelum The Avengers : Age of Ultron mengakhiri MCU phase two. Sementara MCU phase three akan diawali dengan Ant-Man yang akan dirilis akhir tahun 2015. Pelototi baik-baik Captain America : The Winter Soldier sebelum menyaksikan The Avengers : Age of Ultron. Karena apa, seperti sudah saya sebutkan di atas, semua akan terkait.

America vs Soviet ?
Selain narasi yang lebih padat, sekuel ini juga berbeda dengan prekuelnya dalam hal fight scene. Dalam hal ini, orang Indonesia boleh bangga karena adegan kelahi di sekuel ini terinspirasi oleh The Raid. Dan itu secara jujur diakui oleh duo sutradaranya. Karena itu kita akan melihat si Captain tak kaku lagi, lebih lincah, dan lebih intens bertarung dalam jarak dekat. Koreografi pertarungan (terutama vs The Winter Soldier) yang tersaji pun enak dilihat dengan sudut pandang kamera yang dinamis.

Dari departemen aktor, semuanya menampilkan kualitasnya. Chris Evans nampak makin matang dan dewasa. Setelah film pertama, pria kelahiran tahun 1981 ini semakin menyatu saja dengan karakternya. Lebih berkharisma dan dewasa, itu yang terlihat di sini. Karakter arogan dan pembohong besar masih dibawakan dengan baik oleh Samuel L Jackson sebagai Nick Fury. Kelembutan dan ketanguhan Black Widow tetap apik dihidupkan The America's Sweetheart Scarlett Johansson yang juga dengan one liner jokenya membuat kita bisa tertawa kecil. Sam Wilson aka Falcon (Anthony Mackie) sebagai pendatang baru juga cukup lucu dan apik dalam perannya.

Meski identik dengan peran protagonis, tak membuat Robert Redford kehilangan sisi jahatnya. Ya, Alexander Pierce yang kalem namun kejam dibawakan dengan apik olehnya. Sebastian Stan yang orang lama tapi baru mungkin adalah the villain yang paling mendapat simpati di sini. Frank Grillo sudah cocok menjadi villain ke sekian di sini. Pemanis di sini adalah Agent Maria Hill (Cobie Smulders) yang menurut saya adalah yang paling rupawan. Namun jangan lupakan pendatang baru, Emily VanCamp yang juga rupawan yang mungkin saja akan ditampilkan di film berikutnya.

Makin tak sabar menunggu, tak hanya Captain America 3, tapi juga film-film Marvel lainnya. Kenapa, karena mid dan end creditnya menampilkan sesuatu yang istimewa. Karena saya bukanlah penggemar komik Marvel, jadinya saya kaget melihatnya. Begitulah. 






No comments:

Post a Comment