05 February 2016

Siti (2014)



Kapan anda terakhir kali merasa stuck, tercenung, dan tercengang saat nonton film yang di luar dugaan melebihi ekspektasi anda. Dan bagaimana sih perasaan anda saat tahu jika netra, rasa, dan hati ini telah 'kalah luar dalam'. Lalu perasaan membuncah apa yang hendak anda sampaikan setelah kekalahan itu terwujud nyata dan muncrat menjadi sebuah orgasme.

Siti (Sekar Sari) adalah seorang ibu muda (mahmud) yang tinggal di pesisir Pantai Parangtritis, Kulon Progo, Jogja. Di rumah berdinding anyaman bambu (gedek), Siti tinggal bersama suaminya, Bagus (Ibnu Widodo); mertuanya, Darmi (Titi Dibyo); dan anak semata wayangnya, Bagas (Bintang Timur Widodo). Suami Siti dulu adalah seorang nelayan, tapi kini lumpuh tak berdaya setelah mengalami kecelakaan saat melaut.

Praktis untuk menghidupi keluarga 'kecil' nya, Siti harus berjuang keras. Siang hari dia harus berjalan jauh dan panas-panasan berjualan peyek jingking dan undur-undur bersama mertuanya di Parangtritis. Dan malam harinya dia harus jadi LC yang menemani tamu di sebuah rumah karaoke. Saat rumah karaoke tempatnya bekerja  digerebek polisi, Siti pun kebingungan. Ada sesuatu yang dicarinya dari rumah karaoke itu. Belum lagi saat Bripka Gatot (Haydar Saliz) mulai mendekatinya dan berkata kangen.


Peyek Jingking, Peyek Undur-undur
Rasa tak berdaya ini keluar saat scene demi scene Siti tersaji mengalir lembut namun tegas. Menikmati Siti itu seakan menjadi suatu pengabaian jika kita sedang nonton film. Menikmati Siti adalah lebih kepada melihat pada diri kita sendiri. Siti adalah kita sendiri yang setiap hari melihat pergumulan hidup manusia yang tidak beruntung, namun kita tak bisa berbuat apa-apa. Ada empati berlebih dan emosi tersendiri saat menontonnya. Meski kenyataan bisa diabaikan dan dikesampingkan, namun harus diakui bahwa Siti penuh dengan kejujuran dan apa adanya.

Meski ada banyak depresi yang ditumpahkan di dalamnya, Siti masih tetap bisa membuat yang nonton tertawa, tersenyum setidaknya. Asyiknya, kelucuannya terasa alami dan tidak dibuat-buat. Dengarkan saja dialog Siti dengan Bagas tentang alasan Bagas enggan bersekolah. Dialog satu arah Siti dengan Bagus yang puasa bicara juga memaksa kita tersenyum, meski pahit. Guyonan Siti dengan temannya tentang Mas Gatot mencipratkan sedikit romansa. Dan guyonan membahas Bagus memunculkan kelucuan sumpah serapah.

Sang sutradara, Eddie Cahyono mengatakan jika format hitam putih yang sengaja digunakannya merupakan simbol jika tak ada banyak pilihan untuk Siti. Pilihan Siti memang terbatas, sesempit rasio 4:3 yang digunakan Eddie untuk membingkai Siti. Dia hanya bisa memilih hitam yang nanti akan diputihkannya atau putih yang cenderung membawanya ke hitam. Dan Siti harus melakukan itu tanpa jalan keluar, berbeda dengan suaminya yang bisa kabur dengan puasa bicara, atau anaknya yang mempunyai lebih banyak pelampiasan dengan main layangan, berkelahi, atau nonton sorot (layar tancap) di lapangan.

Dan ternyata pilihan dengan niat baik meski harus menerobos norma pun tak bisa menyelesaikan masalah. Meski pada akhirnya ada jalan keluar, namun Siti kembali dihadapkan pada permasalahan baru, yang membuatnya berkeyakinan bahwa apa yang dikatakan orang yang membuangnya adalah benar. Dan Siti tak bisa memaksa siapapun agar menemaninya untuk sesuatu yang diyakininya. Endingnya memang absurd dan cenderung menyakitkan, tetapi saya pikir itu adalah jalan terbaik untuk suatu kesimpulan. Bukankah harus ada penyelesaian untuk sesuatu yang sudah terlanjur dimulai.


Lady Companion
Hampir seluruh dialog di dalam Siti menggunakan Bahasa Jawa. Suatu pendekatan dari Eddie untuk lebih mengakrabkan diri terhadap keseluruhan karakter. Ada lebih banyak penjiwaan peran saat mereka mengucapkan monolog dan dialog dalam bahasa ibu ini. Dan secara subyektif, saya lebih sreg dengan Bahasa Jawa ini, terutama dengan ditemuinya perbedaan sejumlah kata-kata Jawa yang memang berbeda untuk masing-masing kabupaten di Jogja.

Tak bisa dipungkiri, Sekar Sari adalah bintangnya di sini. Dia sangat berhasil menghidupkan karakter Siti hingga pada puncaknya. Mimik dan roman muka yang dibuatnya menghasilkan karakter yang lucu, manja, depresi, rapuh, tegar, menggairahkan, sekaligus cuek. Tidak ada yang menyebut karakternya sebagai seorang perempuan yang cantik, tetapi dia menciptakan kecantikannya sendiri dengan sikapnya yang sederhana, jujur, dan apa adanya.

Siti, film Indonesia yang langka dan tipikal yang telah lama hilang sejak Daun di Atas Bantal dan Pasir Berbisik. Siti sangat memukau karena tersaji di atas pondasi kejujuran atas kenyataan hidup. Siti adalah gelap namun mencerahkan, minimalis tapi mengembang, sederhana namun mewah, hitam tapi putih, sedih sekaligus menyenangkan, rapuh namun tegar, dan polos namun berkarakter. Siti berhasil melampaui semua ekspektasi yang ada dan membuncahkan asa ini menjadi orgasme pribadi. ASU.

No comments:

Post a Comment