17 June 2015

The Loft (2014)




Orang berkata, selingkuh itu indah. Awalnya sih emang begitu. Tetapi seperti karma yang akan berakhir bencana jika melakukan sesuatu yang mengundang bencana pula, selingkuh pada akhirnya akan berujung dengan sebuah petaka. Sebuah petaka yang mungkin tidak akan dibayangkan. Sebuah bencana yang orang akan berpikir seribu kali jika mengkhianati pasangannya. Secara tersirat, itulah yang digambarkan dalam The Loft. Hal-hal yang tersurat tentu saja segala konflik yang ada dalam sebuah hubungan yang melenceng dari pakemnya.

Vincent Stevens (Karl Urban) adalah seorang arsitek yang cukup sukses. Dia bersahabat dengan Chris Vanowen (James Marsden), seorang psikolog; Luke Seacord (Wentworh Miller), seorang agen real estate; Marty Landry (Eric Stonestreet), seorang agen real estate juga; dan Philip Trauner (Matthias Schoenaerts), seorang kontraktor. Saat pembukaan sebuah apartemen mewah hasil desainnya, Vincent menawarkan kepada keempat sahabatnya sebuah Loft, sebuah apartemen mewah sangat pribadi yang hanya bisa dibuka oleh mereka berlima.

Di dalam loft itu, mereka bisa melakukan apapun dengan syarat kelimanya harus tahu jika salah satu dari mereka sedang menggunakannya. Adanya loft itu membuat mereka saling berlomba menggunakan intrik yang mau tak mau menimbulkan gesekan diantara mereka. Satu hari, ada kejadian luar biasa di loft tersebut. Kelimanya kaget. Kecurigaan dan saling tuduh serta terlibatnya polisi akhirnya membuka segala intrik apa yang telah mereka perbuat dan lakukan selama ini.

Petaka itu

The Loft adalah remake dari film buatan Belgia berjudul Loft (2008). Dua tahun berikutnya ternyata Belanda juga meremakenya dengan judul yang sama. Apakah (The) Loft versi Hollywood ini lebih baik dari versi Belgia dan Belanda? Saya tidak tahu karena belum melihat dua film itu. Yang pasti, sutradara The Loft adalah orang yang sama yang mendirect Loft versi original, Eric Van Looy.

The Loft sendiri berjalan unlinier. Alurnya maju mundur. Yang depan dibuat belakang dan begitu juga sebaliknya dengan kilatan flash back yang terus diputar-putar. Namun itu tak membuat The Loft membingungkan. Kita dipaksa mengatur otak kita agar memahami apa yang sebenarnya terjadi di sini, di sana, yang lalu, nanti, dan kemudian.


Sexy, isn't it?

Meski beralur maju mundur tak beraturan, namun di sini Van Looy tidak membuat The Loft sulit dicerna. Justru The Loft sangat mudah dicerna dengan catatan hapal tiap karakter yang cukup bejibun banyaknya. Mungkin di sini lah kelemahan Van Looy. Dengan adanya twist berlapis yang cukup mencengangkan yang dibuatnya, seharusnya Van Looy bisa lebih bijak untuk meningkatkan bobot thriller The Loft. Dialog-dialog yang disajikan pun cukup enteng. Padahal jika ingin WOW dengan twist seperti itu, setiap karakter seharusnya diberi dialog yang lebih tajam dan mengena.

Senang juga akhirnya Karl Urban diberi jatah sebagai pemain utama yang jelas-jelas memperlihatkan mukanya. Penampilan Urban terbilang biasa saja secara dia sebelumnya lebih banyak berperan sebagai pemeran pembantu. Kalaupun dapat jatah peran utama, muka dia tersembunyi dan lebih banyak beraksi ketimbang berakting. Penampilan yang lain juga terbilang biasa saja. Karakter yang masing-masing pemeran tampilkan memang kurang maksimal, tetapi tidak juga jelek.

2 comments:

  1. Halo salam kenal, saya Iza Anwar dari blog : iza-anwar.blogspot.com [review film]

    Boleh tukeran link ya ? Terima Kasih

    ReplyDelete
  2. Salam kenal juga. Link nya udah saya tautkan, bro

    ReplyDelete