23 May 2015

Maggie (2015)




Bicara tentang zombie adalah bicara tentang ketidaksukaan saya terhadap salah satu pelaku horor ini. Jangan tanya kenapa saya nggak suka, pokoknya kalau ada film bertema zombie, lebih baik saya menjauhinya. Tapi apa mau dikata, terkadang suatu film meskipun itu melibatkan zombie, harus saya tonton juga dengan embel-embel karena ada ini dan ada itu. Hanya ada dua film bertema zombie yang saya tonton, trilogy Blade dan World War Z. Dan sekarang saya harus nonton Maggie, embel-embelnya jelas adalah Arnold Schwarzenegger.

Saya sedih saat menyaksikan penampilan Nicolas Cage dalam rangkaian sejumlah film terakhir yang dibintanginya. Bintang besar itu terpuruk akibat masalah pribadi hingga asal comot peran. Usai nonton Maggie, perasaan yang sama muncul. Apakah Arnold akan mengikuti jejak Cage yang menyedihkan? Nungkin konklusi itu terlalu dini karena Arnold tidak bangkrut, dan semoga Arnie hanya salah pilih peran saja. Pertanyaannya, seburuh itukah Maggie?

Wade Vogel (Arnold Schwarzenegger) sedih saat mendapati kenyataan bahwa anaknya, Maggie (Abigail Breslin), telah terinfeksi virus necroambulist. Virus itu mampu membuat seseorang berubah menjadi zombie. Namun virus itu tak langsung secara cepat mengubah manusia menjadi mayat berjalan. Setidaknya, dibutuhkan waktu sekitar dua bulan. Otoritas setempat menyatakan bahwa seseorang yang terjangkit virus itu harus dirawat dan dikarantina.

Crying Arnie

Namun Wade mengabaikan perintah itu. Wade tak bisa melihat Maggie hidup dalam pasungan bersama penderita lain. Wade bertekad merawat Maggie. Jika perlu dia akan menyembuhkannya meski kemungkinan itu mustahil. Wade pun harus bertahan dengan tekanan batinnya di balik upayanya tersebut.

Pada intinya, Maggie mengisahkan hubungan antara ayah dan anak. Hubungan itu 'dipaksa' semakin erat dan intim karena latar belakang kondisi Maggie. Situasi tersebut berpotensi menghadirkan drama yang sangat bisa menyentuh dan cengeng. Sayangnya hal itu tidak ditemukan di Maggie.

Hubungan antara Arnie dan Breslin justru seakan hampa dan tidak erat. Tidak ada chemistry diantara mereka. Lihat saja saat mereka mempercakapkan bagaimana Arnie bisa bertemu dengan mendiang ibu Breslin, seakan datar bukan. Meski juga Arnie sudah mati-matian meneteskan air matanya, Maggie tetap terasa dingin dan hampa. 

Is it twist?

Pace yang sangat lambat juga hanya menambah rasa bosan. Pace yang lambat sah-sah saja sepanjang ada peningkatan di scene selanjutnya. Tapi tidak ditemukan itu sehingga Maggie terasa mengambang semakin ringan, ringan dan akhirnya menguap. Apakah ending Maggie layak dkatakan twist? Saya berpikir tidak. Jikapun itu merupakan sebuah twist, tetap saja tak membantu menaikkan pamor Maggie.

Apa yang disuguhkan Henry Hobson memang jauh panggang dari api. Apa yang disuguhkan Hobson out of the expecting dengan segala macam potensi besar yang ada. John Scott 3 mungkin bisa disalahkan atas menggantungnya alur Maggie yang tidak jelas tersebut.

No comments:

Post a Comment