When the order came to retreat, one man stayed |
Memulainya dengan The Man Without a Face pada 1993, Mel Gibson kemudian menggebrak dengan Braveheart dua tahun setelahnya. Biopic William Wallace itu diganjar dua Oscar untuk film dan sutradara terbaik. Lama vakum sebagai pengarah film, Mel pada 2004 kembali membuat sensasi dengan Passion of The Christ yang menggambaran lebih riil nya saat-saat Yesus menuju ke tiang salib plus dengan kelebihan penggunaan bahasa aramaic dan latin di dalamnya. Apocalypto adalah karya menarik berikutnya dua tahun sesudahnya. Dan setelah vakum selama satu dekade, Mel kembali dengan Hacksaw Ridge.
Desmond Thomas Doss (Andrew Gardfield) hanyalah seorang pemuda biasa yang terpanggil mengabdi kepada negaranya dengan ikut bergabung menjadi tentara. Dia masuk camp yang personel di dalamnya nantinya akan diterjunkan ke medan perang dunia II. Namun tidak seperti prajurit yang lain, Doss mempunyai keyakinan sendiri. Ia tidak mau membunuh sehingga ia enggan memanggul senjata, bahkan menyentuhnya saja tidak. Doss hanya ingin menjadi paramedis sehingga ia tak memerlukan senjata apapun. Prinsip yang ia pegang dengan teguh membuatnya mendapatkan Medal of Honor, sebuah penghargaan tertinggi di dunia militer Amerika.
Dalam hal akting, Mel boleh saja naik turun performa. Tetapi dalam karir penyutradaraannya, Mel belum mendapat cacat berarti. Dalam setiap karyanya, Mel selalu total menggarapnya. Ada emosi berlebih dalam setiap karya pria asal Australia ini. Hal yang sama juga disusupkan di Hacksaw Ridge. Mel memulai drama aksi ini dengan menceritakan masa kecil Desmond hingga ia mendapatkan kepercayaan teguhnya. Desmond memanglah seorang penganut advent sehingga ia enggan membunuh dan tak berkegiatan di hari sabtu (sabat).
Mel menceritakan seorang Desmond kecil dan remaja secara sederhana namun mengena. Saat Desmond mendapatkan keyakinannya, Mel juga tidak terlihat menggurui siapapun atau menempatkan Desmond dalam kucilan keyakinannya. Semua bisa menerimanya. Namun Mel juga membuat semua orang bertanya-tanya, apa yang bisa dilakukan seseorang di dalam perang tanpa memegang senjata. Rasa penasaran itu bakal terjawab dengan sajian apik saat peleton Dos naik ke Maeda Escarpment atau yang sekarang dikenal sebagai Hacksaw Ridge.
Maeda Escarpment, 4 Mei 1945 |
Sajian perang dalam bentuk setting dan aksi yang ditampilkan Mel pun tidak main-main. Desingan peluru, ledakan granat, semburan api, dan dentuman misil terlihat nyata. Kekacauan sebuah perang pun terlihat masif. Sinematografi dari lubang kamera yang diarahkan Simon Duggan layak disejajarkan dengan film perang kelas A lainnya. Di situlah Desmond mendapatkan arenanya. Di situ pula rasa dahaga selama lebih dari separuh film menikmati drama, terpuaskan dengan sendirinya. Bagaimana bisa Desmond yang tak layak disebut tentara dengan postur tubuh dan keyakinannya, bisa melakukan keajaiban yang tentara perkasa pun mungkin tak bisa melakukannya.
Dari departemen akting, Gardfield telah melakukannya dengan baik. Ia memberi nyawa kepada Desmond dengan mimik muka dan penampilan yang seperti Desmond asli. Entah berapa kilogram bobot yang harus diturunkannya untuk bisa terlihat seceking Desmond sebenarnya. Chemistry nya dengan Teresa Palmer pun tampak klop. Palmer juga berlakon apik di sini. Pemanis film ini benar-benar mempermanis drama kehidupan Desmond. Tak ada yang meragukan kemampuan akting Hugo Weaving sebagai ayah Desmond. Ia tetap bagus meski ia tak banyak mendapat layar.
Desmond Thomas Doss |
Yang mengejutkan adalah kemampuan Vince Vaughn sebagai Sersan Howell yang tegas dan disiplin. Ia yang biasa bermain film komedi, mampu membuang kekocakannya dan menggantinya dengan teriakan dan bentakan tegas kepada para kadet, yang asyiknya juga terasa lucu. Masih ingat dengan R Lee Ermey sebagai Sersan Hartman dalam Full Metal Jacket? Vaughn mungkin adalah duplikatnya. Dan yang terakhir adalah tak banyak porsi untuk Sam Worthington meski ia juga bermain tak jelek di sini.
Hacksaw Ridge, kemenangan Desmond terhadap keyakinannya bahwa isi perang tidak melulu hanya menghilangkan, tetapi lebih pada menyelamatkan nyawa. Hebatnya, Desmond menghadapinya dengan tangan kosong. No violence in a violence. Mel menyuguhkan karyanya yang Sekali lagi sangat memorable.
No comments:
Post a Comment