08 May 2016

Ada Apa Dengan Cinta 2 (2016)


Berangkat dari nothing to lose, Ada Apa Dengan Cinta (AADC) justru memikat dan menyihir jutaan orang, khususnya kalangan muda. Mereka berbondong-bondong memenuhi gedung bioskop. Siapa sangka film remaja ini menjadi fenomenal dan bahkan dianggap telah membangkitkan gairah film nasional. Sebagian besar yang berada di dalamnya, yang sebelumnya bukan siapa-siapa, melejit menjadi seseorang yang terperhatikan. Bukan saja oleh publik, tetapi oleh produser dan juga sutradara lain. Itu adalah sejarah 14 tahun yang lalu.

'Tapi aku pasti akan kembali, dalam satu purnama, untuk mempertanyakan cintanya'. Penggalan puisi itu selalu mengingatkan Cinta (Dian Satrowardoyo) bahwa ia pernah memiliki Rangga (Nicholas Saputra). Jadi, ketika hubungan mereka putus sembilan tahun lalu, Cinta memendamnya dalam-dalam di satu kotak memori di tingkat lemarinya paling atas. Kini semuanya berjalan normal. Cinta telah bertunangan. Dan sebelum ia melangkah lebih jauh, Cinta ingin menghabiskan waktunya bersama genk SMA nya, Karmen (Adinia Wirasti), Milly (Sissy Prescillia), dan Maura (Titi Kamal). Mereka liburan ke Jogja. Sayang Alya (Ladya Cheryl) tak bisa ikut sebab suatu hal.

Nun jauh di sana, di New York, Amerika, Rangga juga mempunyai kehidupan sendiri. Ia juga hidup normal dengan bisnis kedai kopinya. Namun adik tirinya yang datang langsung menemuinya, memaksanya kembali ke Indonesia untuk menemui ibu yang selama 25 tahun telah meninggalkannya. Kebetulan yang tidak disengaja, Rangga dan Cinta bertemu di Jogja. Kenangan, keromantisan, dan segala sesuatu tentang masa lalu diantara mereka pun dengan seketika berpendar.

Dulu blom ada smartphone
Untuk film seperti AADC, sekuel sejatinya tidaklah diperlukan. Ending di bandara seharusnya tidak perlu dipertanyakan lagi (jangan mempertanyakan lewat sinetronnya ya, karena itu sesuatu yang beda). Amatlah riskan mengutak-atik sesuatu yang dianggap sempurna. Ratusan purnama telah lewat. Tak ada yang berani mempertanyakan apalagi mengungkitnya. Namun puisi dan juga ending menggantung itu dirasa Mira Lesmana masih memerlukan jawaban. Dan dengan berani serta penuh risiko meski telat selama 14 tahun, ia mengajak Prima Rusdi untuk menulis naskah sekuelnya. Mini drama selama 10 menit di aplikasi percakapan itu digunakan sebagai trigger sebelum versi layar lebarnya keluar.

Apa yang diharapkan dari sekuel sebuah film fenomenal? Tentu saja sebuah jawaban yang memungkinkan sekuel itu setidaknya bersanding dengan prekuelnya. Sebuah pekerjaan yang sungguh berat dengan irisan perbandingan di dalamnya. Apakah AADC 2 sepadan dengan yang pertama? Tentu saja tidak, AADC 2 belumlah cukup apik menyamai predesesornya. Mira Lesmana dengan eksekutor Riri Reza membuat AADC 2 begitu mudah dan menggampangkan sebagian besar bagiannya. Mereka membuatnya begitu renyah.

Apakah itu salah? Tidak juga. Namun keputusan mengentengkan tersebut berpotensi menghasilkan sesuatu yang cheesy dan klise, yang banyak bertebaran di tiap scene yang ada. Ada banyak pertanyaan yang harus dijawab. Dan Mira seta Riza memberikan semua jawabannya versi mereka. Meski semua jawaban mungkin kurang memuaskan, namun setidaknya jawaban itu sudah proporsional. Untuk karakter, masing-masing pelaku diperlihatkan masih sama, sama persis saat mereka masih di SMA. Dan dengan begitu tugas Mira dan Riri menjadi lebih mudah.

Ratusan purnama terlewat
Namun pembeda dari segala hal klise itu adalah dialog-dialog yang masih mengena di logika dan terasa cukup wajar. Dan tentu saja puisi-puisi puitis masih bertebaran memenuhi benak. Rangkaian kata-kata yang bermakna itu terasa makin hidup saat diucapkan secara syahdu. Jika pada AADC puisi Rangga menyadur puisi milik Rako Prijanto, maka di AADC 2, puisi karya Aan Mansyur adalah juaranya.

Titik berat dari AADC 2 adalah Rangga dan Cinta. Nicho dan Dian telah mewujudkan Galih dan Ratna versi modern ini dengan baik. Mereka melakukannya dengan maksimal. Chemistry mereka masih menyatu, sama seperti chemistry mereka di masa SMA. Apa yang dikangeni belasan tahun lalu tentang romansa mereka bolehlah tersenyum lebar karena pengharapan itu masih sama. Sikap Cinta lebih kurang masih sama saat di SMA. Namun sikap Rangga berubah. Dia ingin dan dengan keinginannya itu Rangga bersikap lebih agresif meski rasa jaim itu masih ada.

Secara personal, film ini menyenangkan karena sebagian besar dishoot di Jogja. Dan Yadi Sugandi dengan maksimal dapat menyorot tiap sudut kota Jogja dan objek wisatanya dengan baik. Istana Ratu Boko, Punthuk Setumbu, dan Rumah Doa Bukit Rhema (Gereja Ayam) adalah saksi bisu Rangga mengejar Cintanya. Sellie Coffee, Klinik Kopi, dan Sate Klatak adalah tempat Rangga mengaktualisasikan Cintanya. Sementara Papermoon Puppet Theatre melalui 'Secangkir Kopi dari Playa' adalah waktu Rangga memberikan memori tak terlupakan untuk Cintanya. Jika lokasi Gus dan Hazel memadu kasih di Belanda dulu pernah menjadi lokasi yang paling dicari wisatawan, lokasi AADC 2 mengambil background ini pastilah mengalami hal yang sama.

Rangga, yang kamu lakukan ke saya itu JAHAT
Salah satu kekuatan AADC dulu adalah pada scoring dan OST nya. Dentingan dawai yang mengalun itu tak perlu dijelaskan lagi. Sekuel ini masih menghadirkan scoring lawas, dan juga baru. Sayangnya, scoring baru masih tak bisa mengalahkan scoring yang sudah termemori dengan baik di benak remaja yang kini sudah beranjak dewasa. Scoring lawas itu membuat memori ini balik kembali namun dengan kenyataan yang sekarang.

AADC 2, usaha yang tidak buruk dari seorang Riri Reza, Mira Lesmana, dan Prima Rusdi. Memang masih satu tingkat di bawah prekuelnya. Tetapi sekuel ini mampu membangkitkan kenangan lama dengan menyenangkan, terutama bagi penggemar setianya. Jika anda menyukai Serendipity, maka anda pasti bisa menerima dan tak mempertanyakan semua kebetulan yang ada di dalam AADC 2.

1 comment: