22 September 2015

Self/less (2015)

God created man. Man created immortality

Usaha manusia menjadi Tuhan dengan mengutak-atik penciptaan manusia baru sudah banyak diaplikasikan ke banyak layar lebar. Entah itu dilakukan secara mistik, tradisional, aupun modern, tema jemawanya sifat manusia ini selalu mengasyikan untuk dinikmati. Ada banyak genre juga yang mengiringi tema ini mulai dari drama, horor, dan juga thriller ction ataupun thriller psikologi. Apakah Self/less bisa mengakomodir keinginan manusia untuk bisa hidup abadi, lepas dari kematian dan menentang takdir Tuhan?

Pengusaha real estate super kaya, Damian Hale (Ben Kingsley), dalam keadaan sekarat. Hidupnya tak lama lagi akan berkalang tanah. Namun Hale masih punya  keinginan dan mpian yang belum terwujud, salah satunya adalah meluluhkan hati anaknya, Claire (Michelle Dockery). Sebuah tawaran akhirnya tak dapat ia tampik. Hale setuju untuk menciptakan sebuah jati diri yang baru untuk mewujudkan keinginannya yang belum terwujud saat ia masih bernama Damian Hale.

Keinginan itu membawanya ke Professor Albright (Matthew Goode) yang meyakinkan Hale akan metodenya. Voila, Hale pun menjelma menjadi lebih muda (Ryan Reynolds). Tetapi perubahan itu harus dilakukan dengan disiplin meminum obat yang diresepkan Albright. Namun ada sesuatu yang aneh di tubuh yang lebih muda ini. Dan Hale pun berusaha mencari jawaban atas keanehan tersebut.

Michelle Dockery is still beauty
Opening film cukup meyakinkan. Opening itu membuat kita terjerumus ke dalam pengharapan yang mengatakan bahwa ke depannya, scene-scene yang tersaji pastilah cerdas dengan cerita yang cukup rumit, bermutu, dan membuat kita berpikir lebih. Namun itu berlaku sebelum Ben Kingsley meninggalkan penonton di seperempat film. Tiga perempat film selanjutnya, kita disuguhi tontotan yang cukup menghibur namun tidak konsisten.

Tarsem Singh adalah sutradara yang selalu datang dengan kekhasan visual yang membuat lidah ini berdecak kagum (Immortals, Mirror Mirror). Bila bukan warna yang ditonjolkan, maka busana yang out of mainstream adalah kelebihan lain dari seorang Tarsem Singh. Tetapi apa yang terjadi di sini adalah lupakan itu semua. No color and no costume. Singh di sini hanya bertindak sebagai director yang secara lurus mengarahkan pemainnya berdasarkan script yang ditulis oleh David dan Alex Pastor. Tak ada improvisasi Singh di sini.

Termasuk juga dari segi script yang monoton. Saya heran saja apa yang menjadi fokus dari Self/less, action bukan, psikologi bukan, thriller bukan, dan sci-fi juga bukan. Bila saja salah satu dari mereka dicomot dan mendapat porsi lebih besar sementara yang lain mengekor menjadi background, mungkin saja Self/less akan menjadi lebih jelas dan solid. Penonton sudah berharap Self/less akan bisa menampilkan sesuatu yang lain, tetapi Self/les benar-benar sederhana.  Dari filmography nya, Self/less mungkin adalah karya Singh yang paling medioker.

Proses yang sangat sederhana untuk sebuah keabadian
Hal tersebut diperparah oleh penampilan Ryan Reynolds yang kurang maksimal. Lihat saja mimik dan raut muka suami Blake Lively yang nggak banget tersebut. Reynolds di sini nampak kurang berkarakter. Peran yang ia mainkan juga kurang terselami dengan baik. Meski lebih banyak mendominasi layar, namun penampilan Ben Kingsley yang hanya ada di seperempat film jauh lebih meyakinkan. Kingsley bisa menghidupkan karakternya dengan baik. Sebagai antagonis, Matthew Goode juga kurang kuat dalam karakter sebagai villain yang seharusnya bisa lebih kejam dengan penampilan tenang. Selain Kingsley, mereka memang tidak jelek, tetapi sebagai aktor yang sudah punya nama, penampilan mereka sangat standar.

Self/less, sajian yang standar. Secara umum bisa dinikmati dan cukup menyenangkan, tetapi secara kualitas, masih jauh panggang dari api.

No comments:

Post a Comment