26 June 2014

Oculus (2013)

You see what it wants you to see

Sepertinya tidak bakal ada sajian horor yang fenomenal sepanjang  tahun 2014, setidaknya hingga akhir Juni ini. Paranormal Activity: The Marked Ones dan Devil's Due yang disajikan awal tahun kemarin pun tak mampu memenuhi ekspektasi penggila horor. Gaya yang sama serta waktu perilisan yang berdekatan membuat kedua mockumentary itu hancur lebur di tengah kritikan yang menghujam. Bandingkan dengan tahun lalu yang hanya dari dua film saja, genre horror terangkat. Kedua karya James Wan, The Conjuring dan Insidious: Chapter 2 dianggap telah mengcreepy kan keseluruhan tahun 2013. Namun sebelum tengah tahun di tahun 2014 ini, Oculus pun menyeruak.

Tim Russell (Brenton Thwaites) baru saja pulang dari rumah sakit jiwa yang merawatnya. Di luar pintu rumah sakit, sudah menyambut kakaknya, Kaylie Russell (Karen Gillan). Mereka pun pulang ke rumah Kaylie. Beberapa hari kemudian, Kaylie menciptakan sebuah set di dalam ruangan dengan fokus utama pada sebuah cermin. Ya, cermin itulah yang membuat akal pikiran Tim menjadi kurang waras.

Scene lantas berpindah ke masa lalu saat Alan Russell (Rory Cochrane) membawa keluarganya menempati sebuah rumah baru. Tak ada yang aneh dengan rumah itu kecuali satu ruangan dimana di dalam ruangan yang digunakan sebagai kantor bagi tim itu terdapat sebuah cermin besar. Lambat laun sikap Tim mulai berubah, termasuk sikap istrinya, Marie Russell (Katee Sackhoff). Hal itu membuat Kaylie (Annalise Baso) dan Tim (Garrett Ryan) kecil kebingungan.

Laser Glass
Kebingungan itu berubah menjadi ketakutan saat situasi yang tercipta tak bisa dikendalikan. Semuanya berubah membingungkan, menakutkan, dan brutal. Kaylie dan Tim kecil pun harus menghadapi semua kekacauan tersebut yang berdampak besar pada masa depan mereka.

Saat melihat posternya, saya berpikir jika Oculus adalah versi barat dari The Ring. Jika Sadako keluar dari TV, maka makhluk astral di Oculus bakal keluar dari cermin. Ternyata tidak. Sama sekali tak ada makhluk apapun yang keluar dari dalam dunia cermin. Oculus benar-benar di luar itu. Awal film memang bergulir sangat lambat, seperti tak ada horor dan petunjuk awal di pembukaannya.

Di pertengahan film lah ketegangan itu mulai terasa. Dan di pertengahan film itulah Mike Flanagan mulai menampilkan style horornya. Mike menampilkan Oculus secara flash back yang disajikan secara berbanding samping antara masa lalu dan masa sekarang. Kedua masa berbeda itu terus berpadu dan saling mengisi untuk menciptakan kekosongan cerita yang ingin disampaikan. Efektifkah style seperti itu? Yup, saya pikir style itu jenius dan mengena. Sayangnya, Mike terus menerus menggunakan cara itu tanpa memberikan bobot kengerian yang berlebih. Jadinya, saya hanya melihat dua masa berbeda itu sebaga kronologi semata. 

Will it be a sequel?
Kengerian apa yang tidak diberikan oleh Mike? Saya pikir Mike menyerahkan kengerian itu kepada para penonton sendiri. Sedari awal, Oculus memang meletakkan kengerian yang ada pada imaji para penonton. Padahal yang diinginkan adalah pemberian rasa ngeri, bukan pembentukan kengerian. Memang tak ada jump scare di sini seperti yang biasa dipraktikkan James Wan dalam film-filmnya. Tetapi saya melihatnya tetap ada, namun jump scare itu disajikan secara slow motion (lambat), sesuatu yang justru menjemukan dan menghabiskan kesabaran penonton.

Di sini Mike memperparahnya dengan ending yang saya pikir enggak banget. Mungkin Mike ingin membuat sekuelnya karena mengira Oculus adalah juga karya terbaiknya selain Absentia. Tapi saya tidak berpikir seperti itu. Cukup hanya satu Oculus yang bercita rasa thriller ketimbang horor. Dan untuk selanjutnya Mike seharusnya memang membuat sebuah thriller saja daripada membuat sebuah sajian horor.

1 comment:

  1. Justru di sini menariknya oculus, sebuah film horror yang bisa menimbulkan kesan creepy tanpa banyak mengobral kejutan dan sosok creepy.
    Tidak seperti insidious dan conjuring yang saya nilai kengerian hanya mengandalkan tata suara dan kejutan, namun bobot cerita dan plot nya bahkan dibawah the ring (saya suka the ring versi hollywood ketimbang jepang).
    Saya berharap sinema horor seperti ini diperbanyak, dan saya penggemar the shinning. Betul2 tanpa sosok mengerikan, namun bisa membuat saya tidak berani keluar kamar dan menatap cermin.

    ReplyDelete