17 April 2013

Java Heat (2013)



Hollywood bercita rasa Jawa, Java Heat jawabannya. Meski dikatakan bersetting di Indonesia, tetapi praktis yang ditampilkan hanya Yogyakarta dan sekitarnya saja. Nuansa Jogja makin kental dengan kostum adat dan bertebarannya segala pernak-perniknya.

Seorang bule duduk di ruang interogasi. Jake Travers (Kellan Lutz) sesaat kemudian diinterogasi Letnan Hashim (Ario Bayu) seputar bom bunuh diri yang menewaskan Sultana Jawa (Atiqah Hasiholan). Dengan mimik muka tenang, Hashim akhirnya mempersilahkan (membebaskan) Jake keluar. Jake hanya saksi, bukan tersangka.

Namun Hashim yang dibantu bawahannya, Anton (Rio Dewanto), tetap mengawasi Jake yang mengaku sebagai asisten dosen sejarah seni tersebut. Mereka terpaksa tetap berhubungan untuk menemukan Malik (Mickey Rourke) yang diduga sebagai salang di balik suicide bombing. Petualangan mereka membawanya ke sebuah intrik dan modus yang melibatkan Achmed (Mike Lucock), Patih/Wazir (Tiko Pakusadewo) dan
sang sultan (Rudy Wowor).  

Ada banyak hal menarik dan disayangkan yang dapat dikupas dari Java Heat. Yang saya suka dan ini satu-satunya dari film besutan Conor Allyn itu adalah setting Jogja yang digunakannya. Ada tugu pal putih, Taman Sari, Kali Code, Pasar Ngasem, Pojok Beteng, Bank BNI di perempatan Gondomanan, dan juga setiap sudut jalan Jogja.

Satu lagi, ada Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) juga di situ. Saya yakin Kellan berjalan di plaza UMY saat ia sedang mengunjungi sebuah kampus. Kenapa saya sebut UMY di sini? Karena saya pernah berkuliah di situ. He he. Koreksi saya jika setting itu tak mengambil lokasi di UMY.

Borobudur tak saya sebut di sini karena lokasi Borobudur ada di Magelang, bukan di Jogja. Orang Magelang biasa mengucap Borobudur cukup dengan Budur, seperti orang Jogja menyebut Parangtritis cukup dengan Paris.

Syuting di tugu Jogja ini jelas dilakukan tengah malam

Sebenarnya saya juga suka beskap yang selalu digunakan para pengawal kesultanan. Tetapi pakaian adat Jogja khusus pria ini di film ini ibarat menggunakan setelan jas necis saat berwisata ke pantai. Sangat tidak pada tempatnya. Dan tidak pada tempatnya adalah banyak hal yang sangat disayangkan dan banyak ditemui dari Java Heat.

Pertama, kita seakan buta dan tidak banyak tahu mengenai adat budaya saat menonton film bersetting Amerika atau negara Eropa lain. Untuk Java Heat, saya tahu banyak tentang hal yang tidak lazim dan aneh di dalamnya.

Merupakan hal yang aneh sebuah rumah di Jogja memasak dan makan di lantai 2 rumahnya. Itu terjadi saat Hashim menjamu Kellan makan nasi goreng. Dan tidak ada pula seseorang di Jogja berjalan-jalan menggunakan dokar, kecuali tukang dokar. Namun Mickey Rourke melakukannya. Serta seorang Islam (Hashim) memandikan jasad orang Nasrani (Rio Dewanto), sesuatu yang saya pikir tak ada orang muslim yang melakukannya.

Kedua adalah mengenai polisi. Saya adalah seseorang yang mengetahui tentang seluk beluk polisi. Maka saya tertawa saat mengetahui Hashim menjalankan tugasnya terus mengenakan seragam Pakaian Dinas Harian (PDH) nya. Di film-film Hollywood kan juga sudah ditunjukkan jika  pakaian dinas seorang detektif adalah bebas (preman). Dan memang itu semestinya, termasuk di kepolisian Indonesia. Jangan hanya karena ingin menunjukkan sosok polisi, terus kemudian membungkusnya dengan seragam polisi.WTF

Kemudian pangkat Letnan yang disandang Hashim. Penyebutan pangkat Letnan saja sudah salah. Semestinya adalah Inspektur. Dan dengan atasan langsung seorang Jenderal, semestinya pangkat Hashim minimal adalah Kompol (Mayor) atau maksimal Kombespol (Kolonel). Bahkan seorang Kolonel masih bisa bertugas di lapangan. Perwira yang tak pernah bertugas di lapangan secara langsung hanyalah Jenderal.

Ketiga adalah miscast. Saya melihat ada 2 peran yang miscast. Rudi Wowor sebagai sultan serta Mickey Rourke sebagai Malik. Sejak kapan sultan Jogja berubah menjadi bule. Dan sejak kapan pula orang Arab bisa berwajah Hollywood. Saya sampai tak habis pikir.

Plaza UMY

Akting Rourke sebenarnya tak terlalu buruk. Tetapi karena script untuk dia minim, maka dia tak bisa berbuat banyak. Penampilan lepas justru ditunjukkan Kellan Lutz yang berakting sesuai standarnya.

Tokoh Jake yang dibawakan Kellan sendiri cukup bodoh. Mengaku sebagai anggota marinir, tetapi ia tak tahu jika disadap. Kemampuan bela dirinya pun sekali tiga uang sehingga kalah tarung dengan seorang sersan Indonesia. Setelah saya pikir-pikir, peran bodoh ini cukup pantas buat Kellan yang merupakan lulusan Twilight, sebuah film berisi sekumpulan aktor/aktris yang mempunyai wajah dan bukan bakat akting.

Penampilan Ario Bayu cukup solid meski chemistry nya bersama Kellan kurang kuat. Mengenai bahasa Inggris Ario Bayu yang berasa Indonesia, saya pikir wajar saja. Menuntut banyak phrase, idiom atau slank Inggris, hei ini film dilakoni orang Indonesia. Sementara peran untuk Atiqah Hasiholan tak banyak. Bahkan penampilannya hanya sebagai pelengkap saja. Akting paling bagus mungkin hanya ditunjukkan oleh Uli Auliani. Dan saya tak mau menuliskan alasannya. :)

Sesuai kebiasannya, Connor selalu menambahkan efek ledakan pada setiap film nya. Sebelumnya ia sudah melakukannya di Merah Putih dan Darah Garuda. Adegan saat teroris asal Malaysia meledakkan diri dan sebuah Rocket Propelled Grenade (RPG) yang diluncurkan dengan panduan GPS dari sebuah tablet menghantam sebuah hotel adalah dua dari kesekian adegan ledakan di film berbiaya Rp 145 milyar ini.

Meski saya menikmati setting film ini, namun harus diakui Java Heat merupakan tipikal film B yang mempunyai cerita kurang kuat dan hanya mengandalkan segala sesuatu di luar emosi dan jiwa. Bukan pada pemilihan tema tentang terorisme. Tetapi bagaimana tema itu dibuat menarik sedemikian rupa runut dan cukup detil tanpa meninggakan banyak lubang di dalamnya. Java Heat memang kurang panas.