Two worlds One future |
Gravitasi menarik segalanya melalui kekuatannya. Tanpa alat atau sarana,
mustahil gravitasi bisa ditaklukkan. Namun apa jadinya jika dua planet
berdekatan mempunyai gravitasi berlawanan. Masing-masing mempunyai
persamaan dan perbedaan. Apakah cinta juga akan mengingkari takdirnya
melalui gaya tarikan?
Atas fenomena alam yang tak diketahui kenapa, dua planet terbentuk saling berdekatan. Uniknya, dua planet itu mempunya gaya gravitasi sendiri-sendiri. Dan yang lebih unik lagi, tiap-tiap masyarakatnya membawa gaya gravitasinya sendiri sehingga mereka tak diperkenankan tinggal di planet bukan kelahirannya. Hanya di Transworld mereka bisa bercampur. Transworld adalah bangunan sebuah perusahaan yang menghubungkan dua planet tersebut.
Atas fenomena alam yang tak diketahui kenapa, dua planet terbentuk saling berdekatan. Uniknya, dua planet itu mempunya gaya gravitasi sendiri-sendiri. Dan yang lebih unik lagi, tiap-tiap masyarakatnya membawa gaya gravitasinya sendiri sehingga mereka tak diperkenankan tinggal di planet bukan kelahirannya. Hanya di Transworld mereka bisa bercampur. Transworld adalah bangunan sebuah perusahaan yang menghubungkan dua planet tersebut.
Up top dan down below, sebutan bagi kedua planet itu. Up top diisi
dengan kehidupan modern bagaikan surga. Semua high tech and life ada di
sana. Kondisi itu berbalik 180 derajat dengan kehidupan di down below
yang kumuh, kotor, gelap dan, miskin. Bahkan up top mengeksploitasi down
below dengan menguras sumber daya minyaknya.
Look like Peter Parker and Mary Jane at the opposite |
Seorang bocah down below secara tak sengaja bertemu dengan seorang
gadis up top. Mereka akrab lalu menjalin kasih. Hubungan Adam Kirk (Jim
Sturgess) dan Eden Moore (Kirsten Dunst) ketahuan dan mereka dipisahkan.
10 tahun berlalu, Adam mengetahui jika Eden bekerja di Transworld. Adam
pun berusaha agar dia bisa bekerja di sana dan bertemu dengan pujaan
hatinya. Demi Eden, Adam rela menentang gravitasi.
Tema yang unik dan menarik dari Juan Solanas. Jika perbedaan
biasanya hanya meliputi skala mikro, Solanas menjadikannya makro dengan
menjadikan planet sebuah wadahnya. Dengan modal keunikan itu, Solanas
memaksimalkan pandangannya kepada sisi artistik film. Tak heran mata
kita bakalan dimanjakan dengan keindahan dan keunikan up top, down
below, dan pencampuran keduanya di transworld.
Solanas bahkan ingin menjulingkan mata dan melelahkan leher kita
dengan keunikan temanya tersebut. Tapi santai saja, awalnya memang lelah
tetapi lama-lama lelah juga. he he he. Meski visualnya dibolak-balik,
namun Solanas menebusnya dengan menyapukan warna-warna sesuai bright dan
kontrasnya di tiap scene. Untuk visual, Solanas patut diacungi jempol.
Up top - Down below |
Sayangnya keindahan visual Upside Down tidak diimbangi dengan script
yang mumpuni. Script yang ditulis Solanas sendiri bahkan lebih standar
dari tema cinta itu sendiri. Saya tak merasa Adam sudah berjuang keras
dengan caranya sendiri untuk mengambil hati Eden. Saya juga tak merasa
Eden meresponnya dengan baik. Ada semacam missing pada kata 'cinta' itu
sendiri. Semuanya standar saja meski seharusnya lebih bisa
dimaksimalkan.
Padahal Jim Sturgess sudah bekerja keras untuk itu. Namun script
yang ada tak membiarkannya lebih berkembang lagi. Kirsten Dunst malahan
lebih tak berkembang lagi. Hanya muncul sebagai pemanis saja meski dia
adalah aktris utama. Yang patut mendapat simpatik justru Timothy Spall,
yang dengan gayanya sendiri menjadikan film ini lebih berwarna.
Overall, Upside Down memang tak bagus-bagus amat khususnya dalam
sisi penceritaan. Tetapi dalam sisi visual, film ini menjadi tak
terlupakan dengan angle-angle pengambilan gambar yang menarik. Bayangkan
saja gaya Adam dan Eden mengarungi gravitasi cinta saat kalian sedang
bercumbu dengan kekasih.
No comments:
Post a Comment