Ethan dan Joel Coen known as Coen Brothers selalu menyajikan tontonan yang semau mereka, khas mereka. Tetapi hasilnya selalu memuaskan. No Country for Old Men dan True Grit adalah salah dua dari sekian karya mereka yang sudah saya nikmati. Seperti saya bilang di atas, saya puas melihat garapan mereka. No Country for Old Men sih no comment saking bagusnya. Saya juga menikmati True Grit meski pacingnya lambat dan bagi sebagian orang dianggap membosankan. Bahkan OST nya, Leaning on the Everlasting Arms, terus melekat di benak ini.
Llewyn Davis (Oscar Isaac) adalah seorang musisi folk yang baru saja ditinggal mati teman duetnya. Ia bersikukuh tak mau berduet dengan siapapun lagi meski ada tawaran untuk itu. Llewyn justru lebih memilih bersolo karir. Ia terus mencari peluang itu sambil terus mencari penghidupan dari satu kafe ke kafe lain serta membantu penggarapan proyek musik musisi lain.
Sikap kaku dan idealisme Llewyn ternyata tak berbanding lurus dengan nasibnya. Llewyn tak punya uang dan ia harus menumpang ke sana kemari hanya untuk tidur barang semalam, termasuk ke apartemen gadis yang pernah ditidurinya, Jean Barkey (Carrey Mulligan), yang meski juga bernasib cukup sulit tetapi tidak parah seperti dirinya. Nasib sial dari hari ke hari terus membayangi Llewyn, mulai dari kucing, hamil, hingga gagal mendapatkan cita-citanya meski sudah lintang pukang mengejarnya. Poor Llewyn.
Poor Llewyn |
Kulit dan isi dari Inside Llewyn Davis bagaikan sebuah biopic saja. Padahal scriptnya terinspirasi dari seorang Dave Van Ronk, yang juga seorang musisi folk dari Greenwich Village, New York. Sosok Dave disematkan ke dalam Oscar Isaac melalui cambangnya dan OST Inside Llewyn Davis melalui lagu-lagunya. Seperti biasa, Coen Brothers menggarap filmnya dengan aspek teknis yang mendetail. Suasana tahun 1961 di Inside Llewyn Davis sungguh real, lengkap dengan segala lanskap dan pernak-perniknya. Kiranya kita patut berterima kasih kepada Bruno Delbonel yang telah mengarahkan sinematografinya sedemikian rupa sehingga kita serasa terhanyut ke dalam suasana tahun '60 an.
Suasana Inside Llewyn Davis dibuat benar-benar suram. Yang ada hanyalah warna hitam, coklat, dan abu-abu. Musim salju memang menghadirkan hamparan warna putih cemerlang namun suram, bukankah hamparan putih salju adalah kehampaan. Suasana sendu, suram tersebut berbanding lurus dan klop dengan nasib Llewyn yang memang ditakdirkan selalu sial. Sepanjang film, raut muka Llewyn memang sungguh suram, sesekali dia marah karena kesialannya tersebut.
Jangan salahkan Oscar Isaac karena kedataran raut mukanya di sepanjang film. Karena mimik itu memanglah yang diinginkan. Isaac hanya berusaha mengekpresikan kondisi Llewyn yang cenderung pasrah, terima, dan sepertinya selalu sadar dengan kesialannya. Inside Llewyn Davis memang penuh dengan kemuraman karena raut muka pemain lain juga sama-sama suram, sesuram jalanan New York menuju Chicago yang terus diguyur salju.
Death of Queen Jane |
Di tengah suram dan dinginnya Inside Llewyn Davis, hanya lagu-lagu folk yang didendangkan Llewyn lah yang menghangatkan suasana. Oh God, I love all of this song in it, especially Hang Me oh Hang Me and the Death of Queen Jane. Oscar Isaac dengan petikan gitarnya sangat fasih melakukannya sepenuh hati dan jiwa. Isaac benar-benar mencurahkan moodnya untukmenyanyikan setiap lagu di dalam film ini.
Well, Inside Llewyn Davis adalah sebuah kisah suram dari seorang musisi yang selalu dirundung sial. Bahkan kita bisa merasakan suramnya penderitaan sang musisi melalui kesialan-kesialan yang dialaminya. Tapi percayalah, selalu ada cahaya di dalam kegelapan. Dan selalu ada kehangatan di dalam setiap kebekuan. Inside Llewyn Davis mengajarkan kepada kita untuk tak selalu menyerah dan tetap berusaha, sekecil apapun bentuknya.
No comments:
Post a Comment