Tebuireng 1942, berbondong-bondong calon santri mendaftar masuk ke pondok pesantren di wilayah Cukir tersebut. Salah satu orang tua calon santri memohon agar anaknya bisa masuk, namun dia juga mengaku bahwa dia tak punya apa-apa untuk disumbangkan ke pondok. Penerima santri sinis dan mengatakan, jika tak punya apa-apa untuk disumbangkan maka anaknya tak bisa masuk pondok. Seseorang tua dari belakang tiba-tiba muncul dan mengatakan bahwa tak perlu sumbangan atau apapun untuk masuk dan belajar di pondok pesantren Tebuireng.
Adegan awal itu memperlihatkan kebijaksanaan seorang KH Hasyim Asy'ari (Ikranagara), seorang ulama ternama pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Adegan selanjutnya, KH Hasyim As'ari menjawab pertanyaan salah satu santrinya bahwa meski berstatus sebagai pemilik pesantren, namun ia tetap terjun bertani dan berdagang sendiri untuk mengetahui rasa dan beratnya mencari uang dan penghasilan. Suatu pengajaran akan bentuk empati. Dengan latar belakang punggung KH Hasyim Asy'ari, salah satu orang tua calon santri lantas berujar 'Hadratussyaikh'.
Jepang yang menggantikan Belanda menjajah Indonesia mendadak menyerbu ponpes Tebuireng. KH Hasyim Asy'ari dibawa. Sejak saat itulah, santri ponpes bersinggungan langsung dengan konflik kolonialisme. KH Hasyim Asy'ari menolak melakukan sekerei (menghormat kepada matahari) meski disiksa. Melalui perjuangan diplomasi, putra beliau, KH Wachid Hasyim (Agus Kuncoro), berhasil membebaskannya.
Meski tak berjuang secara langsung, namun KH Hasyim Asy'ari berjuang melalui ucapan, pendapat, keputusan, dan buah pikirannya. Termasuk mengikrarkan resolusi jihad untuk melawan penjajah Belanda yang datang kembali membonceng tentara Inggris. Istri beliau, Nyi Masruroh (Christine Hakim), menyokong dari belakang dengan memberikan bantuan logistik bagi para pejuang. Ulama besar itu wafat tahun 1947 dalam usia 72 tahun. KH Hasyim Asy'ari wafat saat menerima utusan Jenderal Soedirman untuk mendukung perjuangan Indonesia melawan agresi militer Belanda.
Maha Guru |
Tidak mudah memang membuat sebuah biopic. Namun Rako Prijanto sudah dan mampu melakukannya dengan hanyamengambil kurun waktu tahun 1942 - 1947. Apapun hasilnya, sepanjang nggak parah banget, biopic tetap harus dihormati. Dan hasil karya Rako tidak mengecewakan meski juga tidak sangat cemerlang. Masih banyak plot hole yang disisakan. Namun, Rako telah bekerja keras dengan misalnya memaksimalkan setting yang tidak asal-asalan.
Meski tidak meyakinkan betul, tetapi setting yang mengambil lokasi di Solo dan Kediri tersebut sudah mumpuni untuk menunjukkan atmosfir tahun '40 an. Saya juga suka saat Rako tak memoles para pelakon. Para pelakon tersebut dibiarkannya lusuh tanpa polesan sehingga menunjukkan jati diri sesuai kondisi yang ada. Dalam Sang Kiai, Rako juga menunjukkan kebiasaan sehari-hari di lingkungan pesantren, termasuk tingkah laku santri yang dinilai 'aneh', seperti mencium dengan nafsunya tangan sang kiai ataupun menyediakan diri menjadi sandaran sang kiai. Pokoknya semua kelakuan 'aneh'demi sang kiai.
Mungkin yang berpaham bebas merasa nyinyir dengan kelakuan-kelakuan seperti itu. Tetapi itulah adanya, tidak ditambahi dan dikurangi. Sang santri pun tak merasa terhina atau direndahkan. Mereka bahkan merasa sangat bangga. Hanya saja Rako kurang ahli dalam menempelkan animasi. Lihat saja pesawat berarak di langit yang lebih seperti bayangan daripada pesawat sesungguhnya. Namun Rako menebusnya dengan rangkaian adegan perang yang cukup ciamik. Meski tak megah benar, tetapi hingar bingar perang sudah cukup untuk melengkapi Sang Kiai.
Meski tersentral pada sosok KH Hasyim Asy'ari, namun Rako tetap memberinya bumbu seperti film kebanyakan. Dan bumbu tersebut mungkin sama manisnya atau bagi sebagian penonton malahan lebih manis. Bumbu itu mampu dimainkan secara sempurna oleh Harun (Adipati Dolken), Sarinah (Meriza Febriani Batubara), Khamid (Royhan Hidayat), dan Abdi (Earnestan Samudra).
That Ingredient |
Berbicara tentang departemen akting, rasanya tidak ada yang meragukan kemampuan seorang Ikranagara maupun Christine Hakim. Mereka sudah jauh di atas pengharapan kita. Bahkan jika intensitas Sang Kiai ditambah, mereka pun tetap stabil. Pendukung lain juga bermain sama bagusnya sesuai dengan kapasitas mereka.
Sangat naif bila saya tak membandingkan Sang Kiai dengan Sang Pencerah. Kedua film ini mengisahkan tentang ulama besar di balik dua organisasi Islam besar di Indonesia. Kata sandang 'sang' di depan nama mereka saja sudah menunjukkan wibawa mereka. Saya pikir Sang Kiai memang dibuat bukan untuk menandingi Sang Pencerah, tetapi untuk menyamai akan suatu hegemoni dengan keadaan eksis di dalam hegemoni tersebut. Soal kualitas, saya pikir Sang Pencerah sedikit lebh baik. Sang Kiai terlihat sudah halus, tetapi sang Pencerah lebih halus lagi dengan script yang runut dan enak disimak.
Last but not last, menjadi tanda tanya besar bagi saya saat Rako dengan berani kalau tidak bisa dibilang gegabah untuk menampilkan siapa penembak Brigjen Mallaby. Dalam sejarah resmi, tidak pernah disebut siapa penembak sebenarnya Jenderal bernama lengkap Aubertin Walter Sothern Mallaby itu. Tetapi dari literatur yang saya baca, penembak Mallaby adalah seorang tentara TKR Sambongan asli Madura bernama Abdul Aziz. Saya pikir riset Rako kurang komplit. Atau dia terlalu memaksakan sejarah dengan mengunggulkan NU. Ataukah dia punya pendapat pribadi mengenai itu? Entahlah, yang pasti Rako sudah salah dengan hanya menulis Brigadir di depan nama Mallaby. Padahal Brigadir adalah pangkat setara dengan Sersan.
Dialog yang saya paling suka, "Aku harus pergi. Aku nggak mau punya anak negeri kita masih dijajah"