The border is just another line to cross |
Bila dibandingkan, sesuatu yang memiliki bentuk, jelas lebih mudah dilihat dan dirasakan daripada yang tak kasat mata. Kebanyakan dari kita berpikir bahwa bentuk (fisik) lebih kuat daripada pikiran (psikologi). Padahal jika ditelisik lebih dalam, fisik yang kuat tak berarti apa-apa jika psikologinya sudah hancur, sementara sebuah psikologi yang kuat akan bisa melanglang buana kemanapun meski fisiknya sangat lemah. Teror psikologi jelas akan lebih menghancurkan dibanding teror fisik yang hanya melemahkan. Itu pula kenapa The Babadook disebut sebagai horor yang efektif, yang membawa kengerian tersendiri di benak penonton berdasarkan apa yang pikiran terjemahkan. Tapi kali ini kita berbicara thriller action, bukan horor.
Kate Macer (Emily Blunt) adalah seorang agen FBI yang idealis. Segala tindakannya yang hebat di lapangan dilakukan sesuai prosedur yang ada. Usai mengungkap kasus besar yang dilakukan mafia narkoba, Macer ditarik ke Departemen Pertahanan oleh Matt Graver (Josh Brolin), penasehat Dephan yang juga adalah angota CIA.
Di dalam situ ia juga berkenalan dengan Alejandro Gillick (Benicio del Toro), yang mengaku sebagai mantan jaksa, namun Macer tak percaya begitu saja. Ketidak percayaan Macer semakin menjadi-jadi saat ia sama sekali tak dikonfirmasi tentang tujuan misi yang dilakukannya. Yang ia tahu, ia berhadapan dengan mafia narkoba di Juarez, Mexico. Rasa galau Macer pada akhirnya akan terjawab seiring melajunya scene mendekati akhir film.
Puluhan mayat yang ditemukan di balik dinding |
Warning, ini adalah film Denis Villeneuve. Dan bicara tentang sutradara asal Kanada ini berarti membicarakan pengharapan yang besar dan tinggi. Kualitas Villeneuve tidak di mulai dari awal, namun dari langkah berikutnya di depan. Bisa dibilang film Villeneuve yang paling the worst sekalipun, tetaplah merupakan film yang berkualitas tinggi. So, persiapkan diri menemui hal-hal yang menjadi ciri khas Villeneuve di sini.
Dan memang benar, seperti biasanya, Villeneuve masih konsisten mengisi karyanya dengan DNA miliknya. Alih-alih menampilkan menguatkan diri secara fisik, sutradara asal Kanada ini selalu memilih menohok dari sisi psikologi para tokoh di dalamnya. Ada kebingungan, ketakutan, kegelisahan, dan segala sesuatunya yang menjadi drama dalam diri setiap tokohnya. Meski ini adalah action, tetapi percayalah, action hanyalah balutan fisik dari sisi psikologi setiap tokoh. Villeneuve juga selalu mengajak yang nonton untuk berpikir. Contoh mudahnya adalah saat Villeneuve menyuguhkan kehidupan seorang keluarga polisi yang anaknya gemar main bola.
Suguhan itu akan selalu nyantol di benak penonton tanpa berani melepasnya dari cantolan tersebut. Suguhan itu membuat kita bertanya-tanya tentang apakah yang akan terjadi berikutnya.Padahal sebelum Villeneuve memberikan jawabannya, dia sudah mengisi benak penonton dengan segala sesuatu yang tidak mudah dicerna oleh otak. Slow burn, ruwet, dan percakapan yang cukup njelimet bisa kita temui juga di sini. Bila ini bukan Villeneuve punya, mungkin Sicario akan berakhir seperti film kelas B yang berselimutkan film kelas A, yang hanya mementingkan penampilan luar tanpa mengingat esensinya. Ya, Sicario pada akhirnya membuat kita berpikir, benarkah seperti itu? Apakah memang begitu? Dan seterusnya. Dan jangan lupakan ke khas an Villeneuve yang lain yakni sinematografi cantik yang begitu teknis yang kali ini menyembur dari sorotan kamera seorang Roger Deakins.
Benicio del Toro |
Ekspresi kebingungan dan kegamangan Blunt di sepanjang film ini menandakan bahwa ia telah runtuh di balik ketegaran dan kecakapan dirinya sebagai anggota FBI. Semua itu ia tampilkan dengan baik. Namun performa Blunt juga perlahan-lahan runtuh dan redup seiring kemunculan Brolin dan kemudian del Toro. Meski tak menafikan performance Blunt dan Brolin yang menawan, namun performance delToro lebih mendapat atensi. Dia dingin, efektif, dan langsung mengena. Di sini, del Toro adalah yang paling brilian di antara tiga tokoh utama. Dan karakter dari departemen akting ini lah yang terpenting yang digarap dan dijaga Villeneuve dengan apik. Sicario hidup oleh karakter-karakter penting itu yang mampu menerjemahkan naskah yang ditulis Taylor Sheridan.
Bila berbicara tentang lokasi syuting. Pria kelahiran '67 ini sudah melakukannya di berbagai tempat dalam film yang digarapnya. Sebelum merambah Mexico (Sicario), Villeneuve sudah merambah tanah airnya sendiri, Canada (Polytechnique). Lalu dia mengeksplore Timur Tengah (Incendies) dan kemudian Amerika (Prisoners & Enemy).
Sicario, suguhan yang tetap Villeneuve banget. Lebih bisa dinikmati dibanding Polytechnique. Sebelas dua belas dengan Prisoners. Namun tidak lebih baik dibanding Incendies dan Enemy. Oh ya, Sicario dengan segala kelebihannya itu dinominasikan maju dalam Cannes. Dan berita gembira lainnya adalah akan ada sekuelnya. Namun Emily Blunt bakalan hilang di sini, tokoh sentralnya bergeser ke, voila, ................ Benicio del Toro.
No comments:
Post a Comment