Horor dalam bentuk wujud fisik memang tidak universal. Makhluk yang dianggap menakutkan dalam benak setiap diri manusia tersebut bisa berbeda antar kebudayaan atau negara tertentu. Tetapi terkadang kebudayaan yang lebih dominan yang masuk dan menyeruak ke kebudayaan lain bisa menjadikan wujud seram tersebut populer sehingga seakan-akan menjadi universal. Salah satu contohnya adalah zombie. Horor ala barat tersebut dengan latah banyak dimasukkan oleh insan perfilm an di luar Hollywood dan Eropa ke dalam film-filmnya.
Korea dengan latah juga akhirnya menggunakan zombie sebagai objek film nya. Meski publik korea kurang akrab dengan zombie, namun kepopuleran mayat hidup ini coba dimanfaatkan dengan membuat Train To Busan. Dengan embel-embel film zombie pertama kali di Korea sebagai promo jualan, Train To Busan mencoba mengetes sampai sejauh mana publik Korea merespon hantu asing ini.
Seok Woo (Gong Yoo) adalah seorang manajer perusahaan keuangan yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Kesibukan menjadikan Seok Woo seorang yang egois dan tak peka dengan keadaan sekitar. Hal itu membuatnya kehilangan istri dan kurangnya kasih sayang terhadap anak semata wayangnya, Soo An (Kim Su An). Suatu hari Seok Woo tak kuasa menolak permintaan anaknya untuk pergi ke Busan. Mereka menuju Busan menggunakan Korea Train eXpress (KTX).
This is the beginning |
Tanpa mereka tahu, keadaan di luar kereta berubah sangat cepat. Terjadi kekacauan masif di luar sana tanpa mereka tahu apa penyebabnya. Ternyata kekacauan itu juga terjadi di dalam kereta. Bertahan hidup adalah apa yang dilakukan Seok Woo dan Soo An menuju ke Busan. Mereka harus melewati teror orang mati yang hidup kembali.
Selain bertindak sebagai sutradara, Yeon Sang Ho juga menulis sendiri screenplay film yang premiere awal Juli di Korea ini. Premisnya sederhana, perjalanan panjang di mana tokoh utamanya menghadapi rintangan selama perjalanan. Sebuah premis atau tema yang umum. Namun ibarat makanan biasa, bila diramu di tangan chef yang tepat, makanan sederhana itu akan menjadi sajian luar biasa lezat dengan penampilan memikat, aroma nikmat, dan bumbu yang menggugah selera. Dan Yeon Sang Ho telah melakukannya.
Sang Ho bisa menjaga tensi ketegangan tiap scene di dalamnya. Setelah menghela napas sejenak, penonton diajak lagi berpacu menyaksikan para tokoh di dalamnya berlari menghindari kejaran si mayat hidup. Dan sutradara kelahiran Seoul ini tahu betul bagaimana memanfaatkan gerbong kereta api yang sempit itu sebagai sarana meningkatkan adrenalin penonton. Ya benar, serasa nonton Snowpiercer. Hanya saja dalam setiap gerbongnya tidak berisi para begundal, melainkan zombie yang siap menjadikan yang masih hidup berubah menjadi zombie lain.
Bukan sineas Korea namanya jika tak menambahkan drama di dalamnya. Hubungan antara ayah dan anak, suami dan istri, pacar dan kekasih, adik dan kakak, bahkan yang nir hubungan pun Sang Ho jadikan bumbu penyedap di antara jalinan ketegangan yang terjadi. Endingnya yang drama banget namun adil ini mengizinkan penonton untuk sekedar meneteskan air mata atau boleh juga tersedu sedan.
Zombie train |
Eits, enak dan lezat bukan berarti sempurna. Ada plot hole di sini yang membuat sebagian rasa di dalamnya musti dipertanyakan. Kurang ekspresifnya Gong Yoo di sini menjadikan film yang mempunyai judul asli Busanhaeng ini sedari awal cukup hambar dinikmati, mimik mukanya terlalu datar. Saya tak melihat Gong Yoo di sini merupakan pria yang egois. Sama sekali saya tak melihat kesebalan dari dirinya. Justru saya melihat pangeran kopi ini sebagai seorang yang heart warming.
Kemudian plot hole lain adalah ekspresi kaget atau stuck in a moment yang durasinya saya pikir terlalu panjang. Secara logika, orang akan langsung reaktif saat melihat ada sesuatu yang mengagetkan yang terjadi di depannya. Sang Ho mungkin mengaktifkan fitur itu untuk memberi dramatisasi lebih. Wajar namun cukup mengganggu. Oh ya, Sang Ho juga tak memberi kesempatan penonton untuk mendapat penjelasan kenapa virus mayat hidup ini bisa menyebar.
Train To Busan, film zombie pertama Korea yang bermodal biasa, namun bisa dimaksimalkan dengan baik. Dengan kritik sosial yang menyertainya, Kereta ke Busan ini sungguh menghibur dengan thriller yang terjaga tensinya. Ada plot hole, tetapi itu bisa dikesampingkan.
No comments:
Post a Comment